Maison Margiela dan Obsesi “Rusak Adalah Seni”, Fenomena Destroyed Shoes Rp17,5 Juta

Maison Margiela dan Obsesi “Rusak Adalah Seni”, Fenomena Destroyed Shoes Rp17,5 Juta

Skena Fashion – Maison Margiela kembali mengguncang wacana fashion global dengan merilis sepatu Destroyed shoes “Loved to Death” seharga sekitar $1050 USD atau Rp 17.500.000. Sekilas, sneakers ini tampak seperti sepatu tua yang sudah “diseret di jalanan dan dilupakan di gudang selama bertahun-tahun”. Namun, di balik tampilan compang-camping itu, ada filosofi mendalam tentang waktu, keausan, dan cinta pada objek yang terus dipakai hingga hancur. Di era ketika banyak brand berlomba menciptakan kemewahan yang clean dan rapi, Maison Margiela memilih jalan sebaliknya: merayakan keindahan kerusakan sebagai bentuk ekspresi manusia yang otentik. Pendekatan radikal ini bukan hanya soal sepatu, tapi tentang bagaimana kita melihat benda sehari-hari sebagai simbol kehidupan, nostalgia, dan penggunaan nyata.

“Baca juga: Bullyart Seniman Realisme yang Mengubah Dunia Tato Menjadi Ruang Seni Hidup

Maison Margiela: Rumah Mode Avant-Garde yang Menantang Kenyamanan Estetika

Maison Margiela memang terkenal tidak pernah bermain aman. Sejak awal berdiri, rumah mode ini selalu melakukan dekonstruksi terhadap norma fashion: memotong, membongkar, dan memutarbalikkan ekspektasi. Rilisan “Loved to Death” hanya mempertegas identitas tersebut. Sepatu ini memiliki jahitan kasar, bahan frayed, lapisan yang terlihat, hingga sol seakan terkelupas. Filosofi Margiela jelas: kecantikan tidak hanya lahir dari kesempurnaan, tetapi dari perjalanan, cacat, dan cerita yang tertinggal di setiap lapisan material. Secara pribadi, gaya ini menjadi tamparan pada budaya konsumen cepat yang selalu mengejar produk pristine tanpa makna emosional.

Inspirasi “Loved to Death”: Ketika Kerusakan Jadi Bahasa Cinta

Konsep “Loved to Death” didasari premis emosional: benda yang paling kita cintai adalah benda yang paling sering kita pakai hingga habis. Bayangkan sepatu favorit yang menemani perjalanan hidup konser pertama, liburan impulsif, hingga momen jatuh bangun dalam mengejar mimpi. Itulah spirit yang coba ditangkap Margiela: kerusakan sebagai bukti cinta dan pengalaman, bukan tanda usang. Ketimbang mengidolakan barang baru tanpa jiwa, koleksi ini mengajak kita merayakan memori yang tertinggal di setiap goresan.

Detail Rancangan: Jahitan Kasar, Lapisan Terbuka, dan Efek Distressed Premium

Meski terlihat rusak, craftsmanship sepatu ini sangat tinggi. Lapisan kanvas bertumpuk, jahitan dibuat sengaja kasar, bagian tumit terbelah, dan elemen logam terlihat kasar semua dirancang untuk memberikan estetika raw. Warna seolah pudar dan sol tampak aus, namun semuanya terukur dan estetis. Distressing pada Margiela bukan “rusak asal-asalan”, melainkan seni konstruksi balik. Ini bukti bahwa estetika industrial dan nostalgia dapat bersatu menciptakan statement fashion penuh makna.

Reaksi Publik: Kagum, Bingung, dan Kritik Ramai

Publik terbagi dua kubu. Pecinta avant-garde memuji keberanian Maison Margiela dalam menantang estetika mainstream. Namun, banyak pula yang berkomentar sinis, menyebut sepatu ini “seperti sampah mahal” atau “sepatu bekas dari pasar loak”. Namun di dunia luxury conceptual fashion, kontroversi justru memperkuat nilai. Margiela memang bukan brand yang berusaha disukai semua orang mereka menciptakan percakapan, bukan sekadar produk.

“Baca juga: J. Luis, Seniman Tato Asal Lima yang Menjadi Bintang di New York

Sindiran Halus untuk Budaya Konsumerisme Modern

Lebih dari sekadar fashion, “Loved to Death” adalah kritik budaya. Ketika orang berlomba memamerkan barang baru, Margiela mengangkat estetika “dipakai sampai mati”. Pesan tersiratnya: nilai sebuah benda tidak ditentukan dari seberapa baru ia terlihat, tapi seberapa banyak cerita di dalamnya. Sebagai pengamat, saya menilai ini sebagai bentuk romansa estetis melawan budaya konsumsi dangkal.

Siapa yang Cocok Memakai?

Targetnya jelas: pecinta seni, kolektor fashion disruptif, dan individu yang berani tampil anti-mainstream. Sepatu ini bukan untuk mereka yang mencari simbol kemewahan klasik, melainkan bagi yang ingin meneriakkan identitas kreatif dan tidak takut berbeda. Fashion di tingkat ini bukan lagi soal gaya ini soal filosofi dan gestur intelektual.

Layak Dibeli? Perspektif Seni vs Fungsi

Jika menilai secara fungsi, tentu banyak sepatu nyaman yang lebih murah. Namun bagi penggemar seni fashion, karya Margiela ibarat lukisan yang bisa dipakai. Investasi ini adalah bentuk apresiasi terhadap ekspresi, ideologi, dan craftsmanship eksperimental. Untuk sebagian orang, itu priceless. Untuk sebagian lain, itu tidak masuk akal dan keduanya sah.

Maison Margiela dan Masa Depan Mode Dekonstruktif

Dengan koleksi ini, Margiela kembali menunjukkan bahwa fashion adalah ruang eksperimen, bukan sekadar industri pakaian. “Loved to Death” membuka pintu dialog soal makna estetika, waktu, dan keterikatan emosional manusia dengan objek. Di tengah banjir produk komersial, karya seperti ini menjaga ruh seni tetap hidup.

Post Comment